Payung Baru



Ada banyak cinta yang ia curahkan pada tas usang berwana cokelat itu. Dengan jari-jarinya ia perbaiki tali tas yang telah putus. Entah  dengan benang layang-layang ataupun benang kasur yang diklaimnya itu kuat.
“Bu, aku harus ganti tas nih, talinya tadi waktu di jalan putus.”
“Coba Ibu lihat. Ahh ini sih bisa diakali. Sayang masih bagus, hanya patah besi pengaitnya saja. Ibu betulkan.”
Esok harinya, tas itu diberikannya padaku. Kulihat dengan seksama. Ada benang layang-layang yang menghiasi tali tas punggungku.
“Wahh, Ibu memang ahli dalam segala hal. Dapat dari mana ini benang layang-layang?”
“Kemarin nyari di lapang.”
Dialah Ibuku. Wanita tua yang banyak kusakiti tapi sangat kusayangi. Adakah rasa sakit hati dihatinya karena ulahku. Kurasa pasti sangat banyak. Kabar bagusnya adalah kasih sayang dan lautan maafnya pasti lebih luas dibanding rasa sakit hatinya.
***
Semakin renta kenapa wanita tuaku ini semakin sensitif saja. Tingkah lakunya seperti anak kecil. Mudah sekali untuk tersinggung, bahkan untuk hal kecil sekalipun. Ada pepatah sunda yang berbunyi. “Mun geus kolot mah sok malik ka baheula, malik ka budak leutik” (orang tua itu sikapnya pasti suka kembali pada sikap anak kecil). Kurasa itu benar. Ibuku contohnya, bicara salah sedikit saja yang menyinggung hatinya langsung marah. Seperti ketika ia bercerita tentang percintaan masa mudanya. Kalau ku hitang sudah belasan kali ia ceritakan, dari mulai aku remaja hingga aku bekerja. Atau cerita-cerita lain yang telah puluhan kali ia ceritakan. Aku sudah tahu betul alurnya, bahkan dimana titik dan komanya.
“Bu, itu udah berapa kali diceritain. Bosen.”
“Ihh biarin, bukan sama kamu ceritanya juga. Sama si ade.”
“Terus aja cerita teh itu-itu lagi.”
“daek denge teu daek ulah didenge!” (suka dengerin gak suka jangan). Nada bicaraya terdengar tinggi.
“Ibu marah?”
Dia diam tak menjawab, raut wajahnya menunjukkan kalau dia memang marah.
“Ya sudah, maaf yah. Maafin atuh. Maaf yah.” (maafin dong)
“Iya punya Ibu miskin mah gak usah dihargai. Eweuh hargaan.” (gak ada harganya)
“Becanda Bu, jangan marah.”
Dia diam tak bicara lantas meninggalkan tempat duduknya. Ku buntuti ia dari belakang seraya terus meminta untuk dimaafkan.
“Piengkeun nya, mun batur keur nyarita teh dengekeun weh. Rek senang ngadengekeuna rek henteu ge. Teu sopan! Teu ngahargaan, komo nu ngomongna kolot. Ngabejaan we, bisi kitu ka batur.” (lain kali kalau orang sedang berbicara dengerin aja. Mau suka, mau engga denger ceritanya simak aja. Itu namanya gak sopan. Gak ngehargain orang yang berbicara. Apalagi orang tua yang lagi berbicara. Ibu sih ngingetin aja, jangan begitu sama orang.”
“Iya engga atuh sama orang lain mah.”
“Heueuh da ka urang mah, abong ka jelema teu boga. Eweh hargaan.” (iya kalau sama ibu kan, mentang-mentang ibunya miskin, gak dihargain).
“Ehh Ibu mah. Maaf Bu gak akan di ulang lagi.”
Dia masih diam hingga aku tak tahu apalagi yang harus kulakukan agar kata memaafkan terucap dari bibirnya. Hanya butuh beberapa jam untuk ia tak marah denganku lagi.
“Tuh telornya udah mateng. Cepat makan.”
Tuhan, suara indah apa itu yang terdengar dari dapur. Langsung saja aku beranjak dari kamar tidur.
“Bu udah gak marah? Maaf yah! Jangan marah lagi!"
“iya tapi lain kali jangan gitu lagi.”
“Iya janji engga. Bu dulu waktu kecil aku suka cerita di ulang-ulang gak.”
“Sering. Kalau gak didengerin suka marah kamu mah. Suka pengen di dengerin.”
“Ibu suka marah kalau aku cerita yang di ulang-ulang.”
“Ya suka. Soalnya bukan sekali dua kali ceritanya. Sering.”
“Tuh berarti karma itu teh. Jadi sekarang Ibu aku gituin. Hehe.” Kataku sambil berlari.
“Ehh ini anak. Pikasebeleun! Moal dibere dahar karek nyaho siah.” (nyebelin. Gak akan dikasih makan baru tahu rasa.) lantas ia berjalan menyusulku yang sekarang duduk di kursi. Diberikannya piring berisi nasi dan telur mata sapi yang baru ia goreng. Kalau ia sudah bersikap seperti itu, hatiku bisa tenang. Alhamdulillah dia berarti telah memaafkan.
Selain gampang tersinggung ia pun sekarang sering ingin dibawakan sesuatu jika aku pulang bekerja. Ekspresi wajahnya akan terlihat sangat sedih kala ia bertanya, “bawa apa?” “gak bawa apa-apa,” kataku. Dari sana sebisa mungkin ketika dalam perjalanan pulang sebisaku jika ada uang lebih, aku suka mampir untuk membeli makanan. Kalau dulu ia selalu tak makan hanya demi anaknya, sekarang berbeda. Dia yang selalu habiskan makanan hehe.
Wanita rentaku, semakin tua ia semakin sensitif. Mudah menangis seperti anak kecil. Pernah setahun lalu ia sakit keras. Bahkan untuk ke kamar mandi pun tak mampu. Selama ia terbaring aku yang lap tubuhnya, aku yang mengganti popoknya. Iya, ku pakaikan ia popok karena kasian kalau sering ke kamar mandi kasian, sedang rasa ingin buang air kecilnya sangatlah sering.
Ia menangis tersedu dan berkata, “Ibu nyusain yah. Maaf.”
“Ehh bilang apa. Emang udah kewajiban anak ngurus Ibunya. Dulu Ibu yang urus aku sekarang aku yang ngurus Ibu.”
“Iya nyusahin. Segala kerjaan kamu yang urus. Kasian cape. Maafin Ibu yah.”
“Ibu ngomong apa ihh.” Air matapun tak dapat terbendung lagi.
Akhirnya sesi drama pun dimulai. Ibu dan anak terlihat menangis bersama. Saling meminta maaf atas segala yang telah dilakukan.
***
“Bu tasnya putus lagi. Jangan pakai benang layang-layang ahh. Nusuk-nusuk dipunggung.”
“yang manayang putus?”
“Iya ini besi pengait yang satunya patah lagi.”
Ia pun mengambil tas yang sedang ku tunjukkan padanya. Lantas mengambil benang kasur kemudian dengan keahliannya tali tas pun sudah kembali dapat dipakai lagi.
“Nih udah.”
“Emang kuat.”
“Dijamin.”
“Ini payungnya juga udah rusak gini. Tadi tuh hujan gede, gak dipake. Orang payungnya gini gimana bisa dipakai.”
“Ohh ini mah bisa diperbaiki.”
“Yakin bisa? Kok sekarang gak ada yah bengkel payung atau Emang-Emang yang suka servis payung.”
“Ya gak ada. Jaman sekarang mah kalau rusak orang mah pada beli lagi. Lem biru. Beli yang baru.”
“Aku juga beli baru aja yah?”
“Ini sih masih bisa di benerin. Nih tinggal ditali aja ini besi-besinya.”
Beberapa bulan kemudian. Aku pulang dengan membawa kantong plastik di tangan.
“Bawa apa itu?” tanya Ibu
“Tasnya putus lagi. Makannya barang-barang semua dipindahin kesini.”
“Ohh gitu,”
“Harus beli tas baru deh.”
“Kan ada yang satu lagi. Pakai dulu aja yang itu.”
“terus kenapa itu meni jibrug?” (kenapa basah kuyup)”
“Di kota mah hujan besar bu.”
“Kenapa gak pakai payung?”
“Emang bisa payungnya dipakai?” sambil kutunjukkan payungku yang sudah berantakan tak dapat dipakai.
“Ya udah besok beli payung baru aja. Ini mah udah gak bisa dibenerin.” Katanya sambil sibuk mencobamemberbaiki besi-besi penyanggah kain payung. “Tapi kalau gini gimana? Mau pakai gak? Cuman agak miring aja.”
“Duh bu, beli baru aja yah. Nanti kalau pakai payungnya miring gitu belakang kan kena air hujan. Tasnya basah.”
“Iya udah. Besok beli yang baru.” Katanya sambil terus berusaha memperbaiki payung rusakku.




Komentar

  1. Salam kenal..
    Ibu saya pun begitu, jadi kaya lagi bercermin sm diri saya tulisannya..
    Semoga ibu2 kita sehat selalu...

    BalasHapus
  2. jadi kangen ibu, beberapa hal di atas, juga pernah saya alami bareng ibu, termasuk dicarekannya :-p

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe. Kalo dicarekan mah pasti pada ngalamin hha

      Hapus
  3. Bikin baper nih. Jadi kangen emak, & peluk emak.I miss u mak. Smoga bahagia di surga ya...sampai ketemu di surga mak.

    BalasHapus
  4. Bu Wulan... Suka tulisannya... Ibuku banget. (Lagi sensitif sensitifnya)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe.. Tiap ibu kayanya emeng gitu kali ya

      Hapus
  5. Aku masih sering ditegur, karena kurang cekatan beberes.. Tapi kalau mamah cerita, memang selalu aku dengerin. Kita juga pengennya kan didengerin...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah itu mungkin sifat buruk saya hehe. Wahh sama nba mamahku juga suka cerewet kalo terkait beberes mah hhe

      Hapus
  6. Halo. Ibu saya sensinya mendekati sensinya. Bener ya. Beuki kolot, malik ka leutik deui. Nanti kita mungkin gitu juga -_-

    Salam kenal,
    Tatat

    BalasHapus
  7. Salam kenal juga

    Iya mungkin kita juga nanti kaya gtu hhe

    BalasHapus

Posting Komentar

Popular Posts