Aku dan Masa Kecil


Ada seni tersendiri ketika kau menjadi anak rantau. Seni itu bernama seni menahan rindu, rindu akan kampung halamanmu. Tempat dimana kau dilahirkan. Disanalah pertama kalinya kau mengenal dunia. Banyak kenangan yang tertinggal, hingga ketika jauh meninggalkannya ada sepucuk rindu yang memenuhi sesak dadamu. Sayangnya aku tak dapat merasakan rindu itu.  Mungkin karena aku bukan anak rantau. Besar di sebuah kampung yang terletak di kabupaten Bandung selatan dan hingga sampai di umurku yang sekarang, aku tak pernah merasakan yang namanya mudik ke kampung halaman. Bagaimana mau rindu kampung halaman karena hingga sampai saat ini masih tinggal di kota yang sama.

Jika berbicara tentang kampung halaman, memoriku akan menarik pada kenangan masa-masa kecil dulu. Sebenarnya tak terlalu merindukan kampung halamanya tetapi lebih pada hal-hal yang pernah dilakukan dululah yang kenangannya masih tersimpan dan sangat dirindukan hingga sekarang. Disana aku lahir, di sebuah desa kecil di Bandung selatan. Kampung itu bernama kampung Cangkring, berdekatan dengan kampung Jelekong. Kalau kau belum tahu Jelekong. Akan ku beritahu sedikit tentang kampung itu. Jelekong adalah kampung dimana lahirnya Dalang tersohor yang melahirkan tokoh wayang si Cepot. Ya, siapa lagi kalau bukan Sunarya, atau mungkin sekarang lebih terkenal oleh anaknya Asep Sunarnya. Kampung halamanku itu sebagian tanahnya di kelilingi gunung dan sawah. Orang-orangnya sebagian besar adalah petani dan anak-anak mudanya banyak yang bekerja di pabrik. Ketika umurku memasuki usia 14 tahun, keluarga memutuskan untuk pindah ke daerah lain. Tak terlalu jauh dari kampung tempat aku dilahirkan. Dapat terjangkau hanya dengan menaiki angkutan kota. Itu pun hanya memerlukan waktu paling lama 45 menit. Meskipun begitu, bolehkah ku sebut itu kampung halamanku? Hehe..

Kampung halamanku adalah tempat yang paling indah kala itu, berbeda jauh jika dibandingkan dengan sekarang. Dulu, tanahnya dipenuhi sawah-sawah yang menghijau. Kalau sekarang, gedung-gedung menjulang tinggi. Perumahan-perumahan milik orang bermata sipit banyak kau temukan disana. Dulu sungainya sangat jernih. Sekarang airnya bermertamofosis menjadi berwarna. Warnanya mirip cokelat panas kesukaanku hehe.
Di sawah-sawah itulah aku menghabiskan waktu bermainku. Pada sungai-sungai yang mengalir jernih aku menghilangkan lelahku. Ketika waktu maghrib tiba aku dan anak-anak lainnya akan menyeberangi irigasi untuk mengaji. Begitulah kehidupan di kampung dulu. Yang ku kira pasti sudah jauh berbeda dengan sekarang.


Bermain adalah salah satu kegiatan paling menyenangkan ketika sepulang sekolah. Tentunya setelah mengerjakan beberapa pr. Ketika kecil banyak sekali permainan-permaian yang seru untuk dilakukan. Biasanya aku dan teman-teman suka bermain “anyang-anyangan” . anyang-anyangan itu sejenis permaian yang dilakukan beberapa anak dengan melakukan kegiatan yang biasanya dilakukan oleh orang dewasa sehari-hari. Ya semacam bermain peran hehe. Pura-pura jadi penjual dan pembeli, menjadi orang tua dan anak, atau apapun yang seru untuk dilakukan. Nah, dulu kalau dengan anak perempuan biasanya main masak-masakan dan coba tebak! Main masak-masakannya itu beneran loh. Kita pasti patungan, ada yang udunan garam, tahu, tempe, minyak, dan lain-lain. Memasaknya itu biasanya pakai katel kecil dan kita buat api dari kayu bakar. Kalau dipikirkan sekarang, kita yang lahir tahun 90an ternyata lebih kreatif di banding anak sekarang. Kalau ngebolang ke gunung jangan ditanya. Hampir setiap hari dilakukan, karena memang kampungku dekat gunung. Kemudian ketika sudah sampai di gunung biasanya aku dan teman-teman bermain di sungai. Sungainya masih sangat jernih dengan bebatuan di dalamnya. Yang paling seru itu naik ke gunung batu, setelah sampai atas kau dapat berteriak sekeras mungkin hingga suaramu menggema.
Moment yang paling romantis ketika kecil adalah bermain hujan-hujanan. Acungkan tangan yang setuju denganku! Hehe. Bermain hujan ketika kecil itu ajaib sekali karena kau tak merasakan sakit setelahnya meskipun Ibu pasti selalu marah jika kau melakukannya. Ada lagi moment yang seru ketika kecil yaitu nyair. Nyair itu adalah menangkap impun (ikan kecil) di sawah memakai alat seperti jaring yang terbuat dari bambu yang di anyam. Orang sunda bilang nananya ayakan. Lalu setelah itu mencari eceng di sawah. Kemudian impun dan eceng yang sudah berhasil didapat di masak rama-ramai.

Tidak ada habisnya jika membicaran masa kecil di kampung. Kenangannya luar biasa banyak sekali. Hingga jika aku memikirkannya rindu itu menyeruak memenuhi rongga dada.

Komentar

Popular Posts