Sepatu Nomor 39


(Part 2)
“Sam....”
“Iya Sarah.”
“Emm, jika aku bilang aku menyukaimu. Bagaimana tanggapanmu?” Pertanyaan sempurna yang akan kuutarakan padanya.
“Apa Sarah? Apa yang hendak kamu katakan?”
Sempurna! Pertanyaan itu tersendat di ujung tenggerokan.
“Emm, nama panjangmu siapa Sam?” Sialan, pertanyaan bodoh.
“Apa? Kukira apa. Samudera. Muhammad Samudera. Unik bukan?”
“Emm, Sam...”
“Sarah, aku masuk kantor dulu oke.”
***
Pukul empat sore, aku bergegas membereskan meja kerja. Mematikan layar komputer lalu merapikan pakaian dan sedikit memulaskan bedak dan lipstik. Kamu perempuan, dan selalu ingin terlihat berpenampilan baik meski seharian lelah bekerja.
“Sar, langsung pulang?” Suara Dita mengagetkanku.
“Iya.”
“Mending ke rumahku yuk! Nonton, ngobrol, apa kek. Sekalian nginep aja gimana? Kan besok minggu. Aku sendirian di rumah tahu. Orang rumah pada ke Garut. Ngurusin apa gitu...”
“Boleh. Tapi pakaianku gimana?”
“Kamu kan udah sering pake pakaian aku kalau nginep. Kan ukuran baju kita sama.”
“Baiklah. Ayo!”
Dita peremuan yang nyaris sempurna. Punya orangtua kaya, pekerjaan bagus, penampilan cantik, dan pintar. Apalagi yang kurang dalam hidupnya. Kasih sayang? Orang tuanya begitu menyayanginya, ia anak bungsu dari dua bersaudara. Aku menyayanginya, empat tahun menjalin persahabat. Dia tipe orang yang setia kawan. Sam, Sam pun menyanyangi. Apa yang kurang dari hidupmu Dita? Sempurna!
“Ah, capenya,” ucap Dita merebahkan badannya ke kasur.
Semalaman aku dan Dita mengobrol tentang banyak hal hingga akhirnya kami tertidur, menyisakan layar tivi yang masih menyala.
***
“Kamu pakai sepatu yang ini aja Sar. Di kaki kamu pas deh kayanya.”
Sepatu sport bertali warna biru dongker, warnanya hampir pudar. Kumasukan kaki kananku ke dalam sepatu. Katanya, jika mencoba sepatu, pasang yang kanan dulu karena kaki kanan ukurannya lebih besar dari kaki kiri.  Kalau pas berarti kaki kiri juga pasti akan pas.
“Ini pas Dit. Ukurannya besar, bukan sepatumu?”
“Itu sepatu Sam. Kakinya kecil, seukuran dengan ukuran sepatu kamu. Ayo mari kita lari pagi. Udah lama gak lari pagi bareng kamu Sar.”
Aku masih duduk tertegun, kulihat sekilas ke arah Dita yang sudah berlari. Ia berbalik sambil masih berlari. Melambaikan tangan memintaku untuk mengejarnya.
“Ini sepatu Sam.”
Kusimpulkan tali dengan kuat.
“Ayo Sam, kita berlari!”
Senyum terlukis diwajahku, semoga Dita tak dapat menyadarinya.
“Dittt....Tunggu!”
***
Nafasku terengah-engah, begitu pun Dita. Setelah cukup lama berlari, kami duduk beristirahat di taman.
“Kenapa sepatu Sam ada di rumahmu Dit?”
“Waktu itu kami pulang kehujanan. Badannya semua basah. Terus aku pinjemin baju sama sandal ayah. Lupa dia sepatunya gak diambil lagi. Eh, aku sih yang lupa. Padahal bajunya udah aku kasihin.”
“Ohh,” jawabku pendek.
“Sar, aku berencana menikah dengan Sam. Menurut kamu gimana?”
“Apa? Menikah Dita...”
(Bersambung)

Komentar

Popular Posts