Kenangan itu datang Kembali



Telah aku ceritakan bagaimana pertemuanku dengan pria bernama Sakti. Pagi ini ia telah berada di ruang tamu rumahku. Duduk manis menikmati secangkir kopi. Ditemani hujan yang teramat besar. Satu dua kali petir terdengar menyambar. Bukankah ini masih pagi, kenapa petir tergesa sekali untuk berteriak menakuti makhluk bumi.
“Aku tidak jadi berangkat kerja. Hujannya deras sekali. Lebih asyik menghabiskan waktu denganmu Nona.”
“Tapi aku akan berangkat.”
“Akan ku antar.”
“Bukankah hujannya deras.”
Dia lekas akan membuka mulutnya untuk berbicara, tiba-tiba ponselnya berdering. Wajahnya terlihat begitu tegang. Entah apa pembicaraan yang terjadi di seberang sana, ia hanya mengangguk dan lebih banyak berkata iya.
“Aku pergi dulu.” Katanya setelah mematikan ponsel
“Masih hujan.”
“Itu tak jadi masalah. Ada sesuatu yang penting yang harus ku kerjakan.”
“Bukankah kau akan mengantarku.”
“Jangan bilang kau marah aku tak jadi mengantarmu.”
“Kalau ku bilang aku marah.”
“Itu akan jadi masalah untukku.”
“Masalah?”
“Iya, masalahnya adalah aku akan sangat berpikir keras untuk meredakan marahmu. Dan kau pasti tak akan suka.”
“Kenapa?”
“Nanti kau akan jatuh cinta.”
“Hah! Cepat pergi sana!”
Dia selalu ngawur, selalu berkelakar dan aku suka ketika mendengar leluconnya. Bukan berarti aku jatuh cinta atau suka dalam arti yang berbeda. Tidak sama sekali.
***
Pukul lima sore, aku telah berada di lobby kantor. Menunggu Barry yang sedang ke toilet dulu. Ya, aku dan Barry berada dalam satu gedung yang sama meski kantor kami berbeda. Kantorku dan kantornya menyewa gedung yang sama. Kantorku berada di sebuah gedung yang terletak di jalan Asia-Afrika. Salah satu jalan yang cantik dan romantis menurutku. Di jalan ini berjejer bangunan-bangunan kokoh, sebagian besar masih berupa bangunan peninggalan Belanda. Di tambah lampu-lampu jalan yang klasik. Banyak sekali perubahan yang dilakukan Wali Kota kami, yang membuat jalanan ini semakin cantik.
“Ayo Emillys.”
Barry menepuk pundakku dari belakang, aku tersenyum. Kami meninggalkan lobby kantor. Menaiki mobil, melaju di jalanan Asia-Afrika.
“Bagaimana pekerjaanmu.”
“Yah begitu lah.” Jawabku singkat, terlalu malas untuk membicarakan pekerjaan.
“Kamu mau langsung ku antar pulang?”
“Bagaimana jika kita main dulu ke tempat itu. aku rindu Barry.”
“Aku malas Emillys.”
“Ayolah. Kamu pun pasti ingin ke sana bukan? Apa tidak rindu dengan Ibu?”
Dia tak menjawab pertanyaanku. Dan aku tahu tandanya ia setuju untuk ke sana dan setuju pula atas ucapanku, bahwa ia pun rindu. Mobil melaju dengan cepat. Membelalah jalanan kota. Hari ini akan ku bayarkan rindu, rindu pada sosok wanita yang ku panggil Ibu.
“Ibuuuuu.” Begitu gerbang di buka oleh seorang penjaga, aku langsung berlari, berteriak dan mencari Ibu. Ku buka pintu tua itu, dia ada di sana. Ku peluk ia dari belakang.
“Ehhh naon ieu teh ahh? Angger kamu mah suka ngagetin.” (Ehh apaan sih ini? Kebiasan yah, ngagetin mulu)
“Ihh, kangen Bu.”
“Si kasep mana?” (si ganteng mana)
“Tuh.”
Barry berdiri diambang pintu, ia tersenyum. Berjalan perlahan menghampiri ibu. Wanita tua itu menyambutnya dengan pelukan hangat.
“Baru satu bulan kita gak ke sini. Dia terlalu berlebihan. Iya kan Bu?” Ucap Barry
Wanita tua itu kami panggil ibu. Dua puluh empat tahun aku dibesarkan olehnya, meski aku tak terlahir dari rahimnya. Bukan hanya aku. Barry dan anak-anak lainnya yang yatim dan piatu, yang ditinggal di tempat sampah oleh orang tuanya yang biadab dibesarkan olehnya. Barry sudah lebih lama tinggal bersama ibu. Kata ibu ketika aku bayi, Barry usianya sudah lima tahun. Berbeda denganku yang diasuh ibu dari bayi, Barry ibu temukan ketika usianya tiga tahun. Sedang menangis di depan pintu rumah, tepat jam satu malam. Rumah ini, adalah rumahnya para manusia yang tak punya kasih sayang dari orang tuanya. Ibu kasih nama rumah ini panti asuhan Bunda Ceria. Bagiku ini adalah rumahku, dan ibu adalah orang tuaku. Pernah waktu aku duduk di bangku SMA bertanya perihal nama panti asuhan ini padanya. Kenapa dikasih nama Bunda Ceria. Jawaban ibu singkat. “Kan ibu selalu ceria.” Jawabnya dengan khas aksen sundanya yang begitu kental. Aku terbahak mendengarnya. Disinilah kenanganku dan Barry tersimpan. Kami banyak menghabiskan waktu bersama. Aku paling dekat dengannya di banding dengan anak-anak lainnya yang tinggal di panti.
Aku dan Barry duduk di halaman belakang rumah. Anak-anak panti disini tak tinggal menetap. Banyak dari mereka yang diadopsi. Ku kira hanya aku dan Barry saja yang tidak diadopsi. Pernah dulu, ada sepasang suami istri yang ingin mengadopsiku. Aku tak mau, aku lebih nyaman tinggal bersama ibu. Sebisa mungkin ku buat mereka tak menyukaiku. Kau tahu? Ketika awal aku dipertemukan ku gigit tangan mereka. Jelas saja mereka jadi enggan. Begitu pun dengan calon-calon orang tua lainnya yang ingin mengadopsiku. Nasib mereka sama. Ibu tak pernah marah dan tak pernah menanyakan kenapa.
“Bu, Emmilys sayang ibu. Ibu gak mau urus Emmy lagi?” tanyaku ketika umur delapan tahun.
Ia tak berkata, air matanya jatuh ketika memelukku. Berulang kali diciumnya keningku. Pelukannya semakin erat.
“Bagaimana kalau kita menginap disini. Barang sehari saja. besok kan libur.”
“Itu ide bagus Barry.”
“Aku haus. Mau segelas lemon hangat Emm?”
“Tentu Barry.”
Langit mulai gelap, sayup terdengar anak-anak sedang mengaji dibimbing oleh ibu. Aku melihat ke sekitar. Mataku terhenti disebuah bohon mangga yang tumbuh dengan besar.
Empat tahun lalu, gadis berusia dua puluh tahun menggali tanah dekat pohon mangga di halaman rumah. Di taruhnya kotak pandora biru. Lantas menguburnya dengan rapi.
“Aku baru ingat, ada yang ku kubur disana. Kenapa baru ingat sekarang?” gumanku dalam hati.
Kotak pandora itu kini telah berada di tanganku. Ku buka perlahan, seberkas kertas masih terlihat menggulung rapi.

Untuk dia yang ku panggil Barry..
Bagaimana sebuah rasa itu bekerja dalam raga setiap insan yang bernyawa
Bagaimana asmara itu tercipta
Antara disetiap hati yang mulanya mati
Bagaimana kenyamanan itu ada, diuntaian-untaian kata antara aku dan dia
Bagaimana rindu itu tiba-tiba memeluk raga
Seperti menjadikannya hangat dalam sepi..
Bagaimana aku ungkap ini semua?
Apa boleh ku bisikan ini cinta?

“Emm, ini lemon hangatmu. Apa itu?”

Barry, ku temukan kotak pandoraku. Didalamnya ada kenangan tentangmu. Bagaimana aku dapat lupa bahwa aku pernah menabur sebuah rasa. Barry, apa kau mendengarnya?

Dia tak mungkin mendengarnya, karena aku hanya berbisik dalam hati. Kenangan itu ku temukan kembali, lewat kotak pandora biru.

Komentar

Posting Komentar

Popular Posts