Saturday Morning With Mama..

Sumber:Google


Moment yang jarang didapatkan selama beberapa tahun ini bersama Mama, dan hari ini terlaksana sudah. Seperti biasa, di tempatku bekerja pada minggu keempat setiap bulannya selalu diadakan kegiatan religi yang bernama istighosah. Istighosah ini semacam dzikir dan berdo’a mendekatkan diri kepada Allah. Ohh iya, istighosah sendiri dilaksanakan d masjid Raya Bandung.


Rencananya tidak mengajak Mama, tetapi sekalian ingin memeriksakan tenggorokan ke sebuah puskesmas yang paling lengkap peralatan dibanding puskesmas yang ada di Bandung, akhirnya mau tidak mau dan maksa harus ikut. Kubilang gak usah, tapi “Ngotot” kudu ikut. Kamu harus tahu, “kengototan”nya adalah suatu bentuk kasih sayang yang tak ia ungkapkan secara verbal. Suatu bentuk kekhawatiran yang tak diungkapkan dari lisan yang halus malah dari perkataan yang sedikit marah.

Akhirnya kita berangkat dari rumah pukul setengah tujuh dengan menggunakan kendaraan umum atau aku dan masyarakat biasa menyebutnya angkot jurusan Baleendah-Kebon Kalapa. Diperjalanan aku tak banyak bercerita karena tidur hehe. Butuh waktu kurang lebih 75 menit untuk sampai dijalan Pungkur. Angkot pun berhenti di terminal Kebon Kalapa. Aku dan Mama sedikit berjalan jauh untuk sampai di jalan Pasundan, letak dimana Puskesmas berada. Kutawari untuk naik angkot, tapi tidak mau katanya jaraknya tidak jauh dan lagi kakinya masih kuat berjalan. Meskipun aslinya terlihat sedikit tertatih-tatih saat berjalan.

Sepanjang perjalanan Mama banyak bercerita, cerita yang diulang-ulang sebenarnya. Dalam berbagai kesempatan yang memungkinkan, pasti tak pernah lupa untuk diceritakan. Terakhir kali ia bercerita kubilang itu sudah pernah diceritakan, dan kamu tebak apa yang terjadi. Ia marah besar, “Nya dengekeun we atuh!” (ya dengerin aja!) katanya sambil memasang wajah yang menakutkan. Kemarahannya bertahan samapai beberapa hari, dan aku kapok. Akhirnya kali ini ku dengarkan ceritanya tanpa menyela.

Sebetulnya, saat mendengar ceritanya aku seakan dapat masuk kedalamnya. Mencoba menelisik dan berimajinasi bagaimana ia dengan latar waktu dan tempat pada saat itu. katanya, saat ia tinggal di Ancol, salah satu daerah yang berada di kawasan jalan Karapitan. Ia sering main menggunakan sepeda. “Bahela mah sapedah palang kukurilingan,” (Dulu mah pakai sepeda palang keliling. Sepeda jaman dulu dengan ukuran besar) ucapnya. Rute yang selalu ia lalui diantaranya dari Ancol ke Karapitan, melalui jalan Nilem, lalu keluar dari Buah Batu dan beristirahat di Apotik Diafarma. Katanya lagi, dulu jalannya kecil dan tak banyak kendaraan. Ia sering merasa keheranan saat melihat jalan raya yang sudah agak luas. “Naha jadi teu apal ayena mah jalann teh.” (Kok sekarang mah jadi gak hafal jalanannya). Itu salah satu cerita masa mudanya dulu. Banyak sekali cerita-cerita lain yang akan panjang jika kutuliskan.

Dasar nasib belum beruntung, saat sudah sampai dan akan mengambil nomor antrian kata pak satpam nomor sudah habis karena dibatas maksimal 30 orang pasien.

“Berarti gak usah berobat lagi.”

“Kok?” jawab Mama.

“Anggap aja tadi udah berobat. Terus dikasih obat. Sebentar lagi sembuh.”

“Ohh iya,” jawabnya sambil ketawa lebar.

Kami pun berjalan menuju masjid Agung. Menelusuri jalan Pasundan dengan berbagai tawa dan cerita. Saat melewati jalan yang menuju tempat kerja, ku tunjukkan pada Mama tempat dimana aku kerja. ia hanya ber-oh sambil ikut menunjuk bangunan putih tempat aku menghabiskan sebagian waktuku.

“Cape ?”

“Engga, tapi pelan-pelan sakit,” jawabnya sambil memegang lutut kiri.

Aku hanya tersenyum sambil ku pegang tangan kirinya.

Sesampainya di masjid Agung, kami tak langsung masuk. Dengan membeli beberapa kudapan, kami duduk lesehan di lapangan masjid. Kalian yang bukan orang Bandung dan belum tahu. Di depan masjid Agung ini terhampar rumput sintestis dengan ukuran besar yang dapat digunakan untuk sekedar duduk bersantai atau bermain dengan keluarga. Biasanya, terutama hari-hari libur masjid Raya ini selalu dijadikan destinasi wisata oleh orang-orang. Lumayan, wisata yang murah meriah terlebih bagi masyarakat kalangan menegah ke bawah dengan budget yang boleh dibilang sangat ekonomis.

“Kenapa duduknya disini?”

“Kan mau ngopi dulu katanya?”

“Ihh, udah tahu kakinya sakit gak bisa duduk kaya gitu. Maksudnya duduk dikursi pinggir jalan.”

“Ehh.. Kagok ahh,” jawabku. (Tanggung ah.)

Dia menghabiskan banyak kudapan, malah nambah saat ibu-ibu penjual gorengan menghampiri kami menjajakan makanannya. Beberapa menit duduk di lapangan, akupun mengajak Mama untuk masuk ke masjid karena istighosahnya sudah dimulai. Dan kamu harus tahu, belum habis kegiatan. Ia sudah mengeluh kakinya sakit  jika harus duduk lama dan ingin pulang.

Ya, kami pun pulang. Berjalan kembali ke terminal Kebon Kalapa sambil tetap bercerita tentunya.

“Dulu mah gedung BRI ini gak ada,” ucapnya ketika melihat gedung BRI di seberang jalan.

Aku pun menanggapi setiap cerita dan pertanyaan yang ia ajukan. Sesekali kubantu ia berjalan, karena sering akan terjatuh.

“Jalanna teu rata, jadi rek tijalikeuh wae.” (jalannya gak rata jadi sering mau kesandung) katanya.
Sumber:Google


Mama, ia semakin tua dan aku harus semakin dewasa untuk memahaminya. Waktu seperti terbalik bukan? Saat dulu ia yang harus selalu mendengarkan ucapan-ucapan dari bibir kecilku yang baru dapat berbicara. Dulu ia yang menjagaku saat aku baru pertama kalinya dapat berjalan. Kini giliranku, untuk dapat menjadi pendengar yang baik untuknya, untuk menjadi pegangan agar ia tak tersandung saat berjalan.


Komentar

Popular Posts