Dari Emillys untuk Barry : Sebuah Penawaran


"Jadi apa gunanya surat izin mengemudi yang ada di dompetmu jika setiap hari angkutan kota yang kau naiki?" Dia tertawa, menggeleng-gelengkan kepala. Kepulan asap dan rokok dijemari tangannya hilir mudik bergantian menerpa bibirnya.
"Lalu apa gunanya surat izin mengemudi jika kendaraannya saja tidak punya?"
"Dirumahmu kulihat ada beberapa motor."
"Itu bukan punyak Sakti,  yang di beli dari uangku baru itu milikku."
"Kau boleh pinjam bukan?"
"Yang punya tidak mau kasih pinjam."
Sekali lagi dia tertawa dan kali ini sangat keras dan tawanya terdengar mengejekku. Kupukul lengannya dengan botol minum yang ada ditangan. Dia meringgis kesakitan.
"Hey sudah!" teriaknya
"Rasanya pusing, mual, dan ingin muntah." Lanjutku sambil berhenti memukul lengannya.
"Setiap kali kau naik angkutan umum?"
"Iya. Terlebih jika jalanan sedang macet. Suasana didalamnya jadi panas. Otakku seperti kehabisan oksigen. Kepala pusing, ingin muntah.  Ditambah perasaan kesal karena begitu lama perjalanan untuk pulang."
"Kau saja yang terlalu manja."
Kupukul lagi lengannya. "Aku masih belum menjadi kaya untuk berpergian menggunakan mobil pribadi. Naik angkutan umum tak masalah. Hanya saja, jika setiap berangkat kerja aku harus naik angkutan umum,  dengan keadaan jalanan yang macet setiap hari, rasanya badanku tak sanggup. Naik motor dapat mengefesiensikan waktu dan hemat uang bukan? Tapi apa daya, motor dirumahku itu sepertinya hanya untuk pajangan saja. Atau jika ingin dipakai pun tidak boleh dibawa lebih dari radius satu kilometer."
Lagi-lagi ia tertawa terbahak-bahak. Kupikir dari mana dari ceritaku yang lucu menurutnya. Kurasa tidak ada.
"Kenapa kau tertawa? Tanyaku
"Kenapa motornya tidak boleh dipakai?"
"Dia bilang perempuan itu kalau pergi jauh harus ada yang mengantarkan. Jika tidak ada yang mengantar, naik kendaraan umum saja. Tak usah pakai motor." Jawabku sambil tersenyum

"Kakakmu itu penyayang sekali." Kali ini bicaranya datar, matanya jauh memandang kedepan. Entah apa yang ada dipikirannya.
"Ya, dia itu pria idaman. Katanya, sangat riskan perempuan  memakai motor untuk berpergian. Dia takut aku kecelakaan. Naik angkutan umum dia pikir lebih aman dibanding aku harus naik motor"
"Idaman sepertiku  maksudmu?" Dia menoleh kesamping, ditunjuk wajahnya sendiri dengan telunjuknya.
"Kau ini pria bajingan, bukan pria idaman." Sambil ku ambil rokok yang ada di bibirnya. Lantas membuang jauh kedepan.
Lama kami tak bersua, seakan tak menghiraukan kehadiran satu sama lain. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Entah apa yang ada dalam kepalanya, apa yang sedang ia pikirkan. Ku nikmati langit sore hari ini. Langitnya canting, biru dengan awan yang berarakan. Laki-laki yang sedang duduk disampingku masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Kepalanya menengadah dan matanya terpejam. Tangannya dijadikan tumpuan menahan badannya.
"Kau sedang menikmati angin?" Tanyaku memecah keheningan
"Kenapa perempuan itu harus diantar kalau pergi jauh?"
Matanya terbuka, wajahnya yang sedang menengadah seketika berganti posisi menjadi tepat berada didepan wajahku. Jaraknya tak terlalu dekat tapi berhasil membuat jantungku berdetak lebih cepat.
"Jawab!" Katanya mengagetkanku.
"Bukan karena dia lemah atau tidak mandiri tapi laki-laki cenderung selalu ingin melindungi, memastikan dia aman dimanapun ia berada. Itu bentuk dari rasa cemas, khawatir. Kukira begitu. Kakakku itu sangat sayang pada adik-adiknya. Ya, kecemasannya memang berlebihan tapi yaa begitulah dia."
Lesung pipi di pipinya merekah. Tangannya meraba saku di celana, mengambil batang rokok. Tapi dia kurang beruntung dengan sekali tangkap, rokok itu sudah berpindah ke tanganku.
Berhenti merokok!

Kau khawatir ya tentang kesehatanku?

Asapnya menggangguku.

"Jadi kau menyuruhku bukan karena khawatir tentang kesehatanku?"

Kujawab pertanyaannya dengan tersenyum canggung. Lantas dimatikan rokoknya. Kupandang ia dari samping, wajah yang beberapa menit lalu berhasil membuat jantungku berdebar. Dan seketika dia membuat jantungku berdebar kembali. Kali ini wajahnya tepat menghadap kearahku kembali.
"Tebak! Ketika aku mengantarkan seorang perempuan. Boleh jadi perempuan itu pacarku atau perempuan yang sedang kudekati. Menurutmu apa aku mengantar mereka karena aku ini adalah pria yang penyayang, yang ingin selalu memastikan perempuan yang kusayangi aman?"
"Iya." Ku jawab singkat. Dia terlihat tidak puas dengan jawabanku. Lalu menghela nafas dengan panjang.
"Payah! Jawabanmu payah." Ditariknya tanganku untuk mendekat.
"Ketika ku antar seorang perempuan. Bukan itu yang kupikirkan. Aku mencari simpatinya. Terlebih ketika dia kubonceng dengan motorku, tangannya dengan mesra merangkulku. Itulah yang ada dipikan laki-laki bodoh!" Kali ini ia memukul kepalaku dengan botol minum milikknya.
"Kalaupun kuantar ia menggunakan mobil, dengan mudah aku dapat mengajaknya bermesraan. Itulah yang ada dipikiranku, perempuan bodoh!"
"Begitulah otak lagi-lagi, meskipun ada rasa sayang dihatinya tapi setengahnya atau hampir sembilan puluh persen diotaknya adalah mesum. Kau harus tahu itu. Jadi kusarankan tetaplah menjaga harga dirimu. Sebelum kau menikah jangan pernah badanmu itu mau disentuh oleh mereka. Kau mengerti?"
Belum sempat ku jawab handphoneku berdering, seseorang di ujung sana memintaku untuk segera pulang. Aku bergegas berdiri, pergi.

"Tunggu, duduk lagi! Aku sedang berpikir, bagaimana rasanya mencemaskan orang lain yang bukan keluargamu. Mencemaskannya jika ia akan pergi, memastikan dia aman ketika dimanapun ia berada. Orang asing yang tak ada ikatan darah denganmu tapi kau begitu peduli padanya. Mengantarnya karena khawatir bukan karena ingin mencari simpatik atau kesempatan. Menyayanginya karena sebuah kasih sayang"
"Kau punya kekasih. Apa tak kau rasakan perasaan semacam itu padanya?"
Dia hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya
"Aku pulang duluan. Hubungi perempuan itu, semoga kau mendapat jawabannya. Setidaknya, kau dapat memastikan bahwa kau benar-benar menyayanginya.
"Emilys, aku mulai cemas jika besok ketika perjalanan pulang kerja kau merasa pusing, mual, dan lantas muntah-muntah. Sepertinya aku mulai berpikir harus menjemputmu setiap hari. Agar kau tak terjebak macet dijalan."
Teriakannya menghentikan langkahku, jantung yang berdegup kencang. Badan yang mematung. Angin sore menampar tubuhku, memberikan dingin. Pria itu berjalan pelan, sekejap ia berada di hadapanku.
"Sepertinya, besok aku harus mengantarmu pergi bekerja. Jadi jam berapa besok kau berangkat?"
Langkahnya berhenti seiring dengan pertanyaannya padaku.
Langit sudah akan gelap. Dia masih berada dihadapanku, jawaban apa yang tepat untuk pertanyaannya.

Komentar

Posting Komentar

Popular Posts