Dialah Mentari


Di kota besar ini, di salah satu sudutnya kita tinggal. Di sebuah desa kecil di kota yang berjuluk Paris Van Java. Aku, kau, ibu dan bapak. Kita adalah keluarga yang bahagia menurut sudut pandangku sebagai anak kecil kala itu. Sumber bahagiaku salah satunya adalah ku punya dirimu, manusia berjenis kelamin laki-laki yang di takdirkan Tuhan menjadi kakakku.

Tahun 1998, usiaku enam tahun dan kau sedang duduk di bangku SMA. Bapak jarang pulang waktu itu. Entah apa yang dilakukannya, yang jelas ibu selalu kekurangan uang untuk kau bekal sekolah dan untukku yang sering merengek minta jajan. Anak umur enam tahun ini belum mengerti apa-apa, yang ada di benaknya hanyalah bermain, jajan, dan minta makan.
Uang seribu rupiah ketika itu sudah merupakan uang saku yang lumayan untukmu. Kau tak pernah mengeluh, bahkan jika ibu tak memberikan uang saku karena memang ia tak ada uang. Padahal dulu sewaktu kau SMP bekalmu lima ribu rupiah setiap hari. Uang saku seribu rupiah sungguh terlalu kecil dibanding uang saku dulu ketika kau SMP. Tak ada alasan untuk tak pergi sekolah. Tak jarang, kau pun harus rela berjalan kaki ke sekolah, bahkan harus lari karena tak ingin terlambat padahal jarak dari rumah ke sekolah belasan kilo meter, cukup jauh jaraknya. Jika beruntung, pulangnya kau dapat tumpangan gratis dari teman. Itu semua sebab uang sakumu ibu pakai untuk anak enam tahun ini jajan. “Kasih saja buat adik! Aku bisa lari ke sekolah sekalian olahraga. Nanti bisa jajan permen aja di sekolah, kalau dia kan pasti rewel kalau gak jajan,” ucapmu pada ibu.

Bapak masih jarang pulang, aku masih belum paham kenapa ia begitu. Tapi tak ada rasa benci sedikitpun. Terkadang ibu selalu menyuruh kita untuk menemui bapak meminta uang. Jika bapak memberi, beruntung kita dapat makan enak tapi jika bapak tak memberi uang kita pun masih dapat makan karena ibu bukan manusia yang tega melihat anaknya kelaparan. Harga sebutir telur ketika itu tujuh ratus rupiah, itu tak pernah membeli kiloan karena memang hanya mampu membeli secara ecer. Kita makan telur buatan ibu, satu butir telur yang dikocok lepas di bagi tiga bagian. Menyesakan dada rasanya jika mengingat itu semua. Kau yang selalu mengalah, memberikan bagian yang paling besar untukku. Beruntuk, hari ini kita bahkan dapat makan telur lebih dari satu setiap harinya.

Tak hanya sebagai seorang kakak, kau adalah sosok bapak, teman, sahabat untukku. Kemanapun kau pergi, aku selalu mengutil di belakangmu. Ikut bermain bersama kawan-kawan yang kau punya. Dingdong, salah satu permainan kesukaanmu. Aku akan setia ikut ketika kau pergi ke tempat itu. Melewati pohon-pohon mengkudu yang membuatku takut, seperti monyet yang bergelantung di pohon. Tangan dan kakiku sangat kuat bergelantung di kakimu. Ketika itu usiaku sekitar empat tahun. Kau pun akan sangat sabar ketika anak kecil ini meraung-raung karena ingin sesuatu. Tak pernah sekalipun kau marah ketika punggungmu penuh dengan bekas gigitan giginya. Tak pernah pula kau mengeluh ketika anak kecil ini tetiba buang air besar di celana ketika kau bawa bermain gundu.

Usiaku masih balita kala itu, dan Ibu selalu menitipkanku padamu untuk kau jaga. Dulu ibu ada kios di pinggir jalan, pendapatannya lumayan besar. Kau setia menjaga kios dan mengasuhku. Kau pun dulu sempat berjualan es keliling. Hasil dari jualan itu kau belikan sebuah cincin emas untukku. Aku masih ingat bentuk dan warnanya, meskipun itu terjadi ketika masih balita. Bentuknya indah, ada permata berwarna merah menghiasi cincinnya.

Tahun 2012 aku duduk di bangku kuliah dan kau sudah bekerja. Kau sibuk mengurusi kami, Ibu dan adikmu. Membiayai kuliahku, makan keluargamu, dan memikirkan cicilan kontrakan rumah kita. “Kau kuliahlah! Harus punya pendidikan yang tinggi. Biar aku hanya tamatan SMA, kau harus lebih dariku,” Katamu di suatu hari.

Di detik ini, kita sudah sama-sama dewasa. Kau masih setia mengurusi adikmu, ibumu. Mengenyampingkan keinginan dan kebutuhanmu. Rumah, kendaraan semuanya kini kau dapatkan. Dengan jerih payah, banting tulang, dan keringat bercucuran. Bahkan kau tak malu untuk menjadi orang jalanan. Memarkir beberapa kendaraan, menjadi calo jalanan hanya untuk hadirkan dunia untuk ibu dan adikmu. Suatu hari kita bernah bercakap, “malu tadi ada atasan yang lihat,” “Ya udah, kerja aja jangan ke jalan lagi,” jawabku. “Ahh, kebutuhan di rumah jadi kurang dong.”

“Duh neng kok receh semua uangnya.” Kata seseorang ketika aku memberikan uang kepadanya. Aku hanya dapat tersenyum. Uang itu adalah hasil dari kerja kakakku. Nilainya jauh lebih berharga dengan apapun. Sungguh, aku akan menjadi manusia yang tak tahu malu jika aku malu mempunyai kakak sepertinya.

Lisannya tak pernah berucap “Dik, aku menyayangimu”, tapi semua yang dilakukannya untukku adalah bentuk dari kasih sayangnya. Rasa cemasnya jika aku belum makan, rasa khawatirnya ketika aku terlambat pulang ke rumah, kemarahannya jika ada orang yang menyakitiku. Itu semua jauh lebih dari cukup untuk mengungkapkan rasa sayangnya.

Bagaimana dapat ku balas itu semua. Rasanya, seisi duniapun tak akan pernah cukup untuk membalas budi dan kasih sayangnya.

Kakak. Sebuah nama, satu kata yang mempunyai banyak arti untukku. Dialah mentari yang terbit di pagi hari, menyambut pejaman mata dari tidur lelapku. Dialah senja yang memberiakn teduh kala terik telah pergi. Dialah pelangi saat hujan telah reda, warnanya gariskan senyum diwajah kala aku melihatnya. Dialah manusia yang terlahir dari rahim wanita yang sama, yang ku panggil kakak.

Komentar

Popular Posts