Dari Emilys untuk Barry: Bawakan Masa Lalu


Senja yang dingin, bersama nyanyian hujan. Coba dengarkan suaranya yang menyapa dedaunan dan menghujam tanah. Atau rinainya yang mengalir di kaca-kaca dan membasahi kayu jendela tua. Apa yang ada dipikaranmu ketika sesekali kau sibuk mengintip keluar. Membuka telapak tangan dan mengulurkannya hingga tetes-tetes air itu basahi tanganmu.
"Hanya dilihat dengan kasat matapun kau akan tahu hujannya belum berhenti Barry."
Kau menoleh kearahku, memandang dengan tatapan tajam. Aku yang sedari tadi sedang duduk nikmati makanan, seketika merasa menciut dan menundukkan wajah. Kulanjutkan makan dan berpura-pura mengacuhkanmu.
"Ayo berdiri," ternyata kau sudah didepanku.
"Makananku belum habis, makananmu juga kan?"
Kau berjalan ke arah kasir, tak lama kembali kemeja makan. Aku tahu maksudmu, tanpa perintah darimu ku geser kursi kebelakang lantas pergi meninggalkan ruangan. Terdengar langkah kaki mengikuti.
"Hujan, dan semakin deras! Mobilmu dibengkel, kau bisa panggilkan taxi?"
Kau diam tak bergeming. Seakan tak mendengar apa yang aku katakan.
"Kenapa kita diam diluar?"
Masih tak bersua.
"Aku akan kedalam lagi dan pesan makanan. Tak perlu khawatir, aku bawa  cukup uang."
Kau dilenakan air hujan. Ku lihat sorot mata tajam itu, bola mata yang berbinar.
"Baiklah aku masuk kedalam." Ku harap ada kalimat yang terlontar dari mulutmu. Setidaknya menahanku untuk tidak masuk kesana.
Aku mulai berjalan, melangkah dengan pelan. Berharap kau memanggilku.
Sampai pintu masuk, aku berbalik dan kau masih disana dilenakan oleh hujan. Tuhan, aku sudah tak tahan! Aku kembali kesana, mengambil bahumu untuk berbalik padaku.
"Hey, aku masih lapar ketika kau menyuruhku untuk berdiri. Lalu sekarang kau hanya berdiri disini dan memandangi hujan. Ya Tuhan, kenapa kau tak biarkan aku disana saja menghabiskan makananku."
Kau meraih tanganku lantas menggiring si empunya tangan masuk ke tengah-tengah hujan.
"Kau gila? Hujannya deras, ayo berteduh!"
Terus berjalan menarik tanganku. Kita mulai basah kuyup. Di antara gemuruh suara hujan, bising para pengemudi jalanan, dan genangan air yang berhamburan dihantam kendaraan.
Kita terus berjalan. Aku mulai menyerah dengan keadaan. Terserah  mau apa dan bawa pergi kemana. Selama hatiku berpikir ini tak akan buruk, baiklah aku akan berkompromi, menuruti maumu.
"Apa kau pikir kita ini sedang syuting film india? Atau kau terlalu banyak menonton drama korea? Ayolah, mana mungkin seperti itu. Ahh, tidak kan? Yang benar saja, pria sepertimu penggemar drama korea?" Mulutku tak berhenti berbicara, seperti ingin bersaing dengan suara hujan.
Kau masih diam, tetap berjalan kedepan dengan menggenggam tanganku.
"Aku bukan sedang siaran radio yang sedari tadi berbicara sendiri."
Menyerah! Kau sama sekali tak berbicara. Kita mulai jalan berdampingan. Kau tak lagi menggiringku dari belakang.
Lalu kau hentikan langkah kakimu. Hujan masih belum berhenti. Didepan bengkel yang tadi kau titipkan mobilmu untuk diperbaiki. Jangan bertanya dengan pandangan orang-orang. Jelas pandangan aneh terlihat dari mata mereka. Sepasang Adam dan Hawa berbasah ria dilebatnya hujan.
Mobilmu sudah dapat dibawa pulang. Kau persilahkan aku masuk kedalam dengan membiarkan pakaian basah masih melekat dibadan. Pria macam apa kau ini!
"Duh dingin sekali. Bajuku basah. Semuanya basah! Andai ada yang berbaik hati menawariku untuk berganti baju."
"Bagaimana rasanya berjalan ditengah-tengah hujan?" Hey kulihat ada garis senyum diwajahmu.
"Kau tersenyum? Kau terlihat manis jika tersenyum."
Senyummu semakin lebar. Seperti anak kecil yang girang diberi hadiah oleh temannya.
"Rasanya akan sakit, terlebih di kepala. Bisa kupastikan, nanti malam atau pagi hari ketika bangun tidur tubuhku akan meriang, flu, dan bersin-bersin," lanjutku.
"Kupastikan tidak aka," jawabmu masih dengan senyum lebar.
"Alasannya?" tanyaku menyelidik.
"Karena kau melakukannya dengan senang hati. Bukan karena ketika situasi dimana kau berlari-lari mencari tempat berteduh. Atau ketika kau sedang dijalan dan seketika terpaksa berjalan ditengah hujan. Semacam kehujanan. Berbeda bukan antara kehujanan dan bermain hujan?"
"Jadi jika aku bermain hujan tak akan sakit."
"Iya. Kau tak akan sakit." Jawabmu mantap
"Jika aku sakit, silahkan kau bertanggungjawab."
Kau mengangguk dan tersenyum padaku, "kau sering bermain hujan waktu kecil?"
"Iya."
"Apa sesudahnya sakit?"
"Tidak."
"Kenapa?"
"Karena aku tersenyum. Aku tertawa riang dan berlari-lari keliling kampung. Bersama teman-teman ditengah derasnya hujan. Itu sangat menyenangkan. Meski terkadang Ibu suka suka rewel tapi dia tak pernah melarangku apalagi sampai marah."
"Itu benar . Besok kita ke toko buku, jawabmu.
"Kau ingin beli buku apa?"
"Buku mewarnai Em."
"Hahaha, ayolah jangan bilang besok kau ingin mewarnai."

"Bukan untukku, waktu SD kau senang mewarnai bukan?"
Aku hanya tersenyum. Tak mengerti jalan pikirannya. Lama aku hanyum diam dalam kebisuan. Menatap ke spion kaca, memandang mobil-mobil dibelakang, rasanya seperti menatap masa lalu. Sesekali kau boleh menengok dan berkunjung tapi bagaimanapun apa yang telah terjadi tak akan kembali. Ia hanya masa lalu..
"Apapun yang kau suka dimasa kecil. Kini kau akan mendapatkannya kembali. Aku akan membawakan masa lalu kepadamu Em."
"Itu ide bagus. Aku suka mewarnai, beli yang banyak, jawabku sambil tetap menatap ke spion kaca.
Hujan semakin deras saja. Aku memintamu untuk berhenti, berhenti Barry!
Kau menengok terheran. Mobilpun menepi. Kau dan aku berpegangan tangan. Berlarian. Ditengah derasnya hujan, tawa kita hilang.
Melompat digenangan air, lalu berlarian. Sesekali kita diam mematung lantas tertawa dan terus berlari kembali..

Hujan
Semakin deras..
Mobil masih menepi
Dan kita masih disana
Berlarian.

Komentar

  1. aku juga sukaa hujaaann..
    cerita nya bikin ngebayangin rasanya lari2an di tengah hujan :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Popular Posts