Dari Emilys untuk Barry:



Awal Pertemuan

Bandung masih sangat gelap meski jam sudah menunjukkan pukul setengah enam pagi. Ku taksir pasti akan turun hujan.  Mengintip dari jendela kamar. Seseorang disana sedang duduk diatas motornya. Sesekali menggosokan kedua telapak tangan sambil melihat ke arah  rumahku. Lalu ia mengambil sesuatu dari saku jaketnya.
Ponselku berdering.
“Haloo.” Suara diseberang sana membuka percakapan.
“Haloo, ada apa?
“Aku ada di depan rumahmu. Keluarlah. Mari berangkat kerja bersama.”
“Aku masih bersiap. Ini masih sangat pagi.”
“Kau boleh mengajakku sarapan di rumahmu dulu. Pria ini belum makan.”
Tut..tut..tut. Sambungan telepon terputus seiring hujan yang turun menghujam bumi.
Ku kira ia hanya sedang bergurau ketika kemarin sore menawarkan sebuah penawaran yang membuatku salah paham. Aku bukan anak kecil yang tak dapat peka terhadap sikap seorang pria. Menawarkan untuk mengantar kerja. Apa lagi, kalau bukan karena dia tertarik padaku. Aku masih mengintip lewat jendela kamar. Pria itu masih duduk di atas motornya menengadah, wajahnya terhujam butiran hujan. Ia berdiri mencari tempat untuk berteduh. Awal pertemuanku dengannya sekitar satu bulan lalu.
****
Bis kota yang ku tunggu akhirnya datang juga. Beberapa melangkah dan hap, aku pun naik lantas mencari tempat duduk yang nyaman. Di Bandung ada banyak bis kota, lebih dikenal dengan sebutan bis Damri. Kalau dulu aku kurang suka naik Damri karena pengap, terkesan kumuh, dan membuat tak nyaman. Tapi beberapa tahun belakangan, Damri ini berubah penampilan. Ada Ac, kursi yang nyaman, dan tidak membuat pengap. Itulah kenapa akhirnya aku betah menggunakan Damri, bahkan ketika jalanan macet dan tubuh lelah karena bekerja, aku dapat tidur nyenyak bersandar dikursinya.
Terdengar alunan biola yang dimainkan, merdu sekali. Kubuka mata, mencari sumber suara. Di ujung sana, dekat dengan kursi pak kondektur seorang pria sedang memainkan biolanya. Wajah yang ramah dengan kulit yang sedikit legam, lebih ke arah warna cokelat. Khas kulit orang indonesia. Rambutnya lurus pendek dengan tatanan yang rapi. Pakaiannya tak seperti pengamen jalanan yang lusuh dan kumal. Itu bukan hal yang luar biasa, karena di kota kembang ini begitu banyak pengamen yang necis dan keren. Itu hal yang biasa. Mereka punya suara yang merdu, bahkan jika kau sedikit usil untuk menelisik banyak dari mereka adalah kalangan mahasiswa yang membiyai kuliahnya sendiri.
Pria itu menyudahi permainannya, temannya yang sedari tadi hanya diam lantas berjalan meminta sedikit uang dari para penumpang dengan mengulurkan sebuah bungkusan plastik. Entah mengapa, aku merasa ingin pria itu memainkan biolanya kembali. Sungguh, nada yang dimainkannya sangat merdu.
Aku menjatuhkan badanku ke tempat tidur. Meskipun di dalam Damri aku tertidur, tapi rasa lelah karena bekerja tak hilang begitu saja. Aku teringat bahwa hari ini Barry mengajakku untuk membeli buku mewarnai, aku langsung beranjak kegirangan. Mandi dan berganti baju. Ia pasti sudah menunggu di sana. Ya, kami janjian akan bertemu di toko buku.
“Suda lama nunggu?” ucap Barry menghampiriku yang sedang duduk di salah satu kursi yang disedikan toko ini.
“Ya, sekitar sepuluh menit. Aku sudah tidak sabar. Ayo belikan yang kau janjikan. Hari inu jangan terlalu lama.”
“Kenapa?”
“Aku banyak pekerjaan.”
Barry sibuk memilhkan buku mewarnai untukku. Sesekali ia menoleh melempar senyum ke arahku yang sedang sibuk membuka buku-buku best seller yang terpajang. Tanganku berusaha menggapai buku yang terpajang yang lumayan tinggi, tiba-tiba ada tangan yang mengambilnya terlebih dahulu. Aku tersenyum, lantas, ketika akan mengucapkan terimakasih ia beranjak pergi. Aku menyeringai lantas mencoba mengikuti langkahnya. Dengan sekali tarikan, ku balikan badannya.
“Hey.”
“Apa?”
“Itu buku yang mau saya ambil.”
“So?”
“Kembalikan!” Kataku sambil menggerakan tangan ke arahnya.
Ia tersenyum geli, “mbak, bukunya masih banyak.”
“Saya kira tadi kamu berbaik hati akan mengambilkannya untuk saya.”
“Mbak ini kebanyakan nonton korea. Lalu nanti si perempuan akan terpesona, kenalan, bla..bla...bla. Mbak maaf ya, saya buru-buru. Mbak ambil bukunya sendiri.”
Ia melangkah pergi, aku hanya dapat menggerutu. Seketika aku teringat pria pengamen yang kulihat di Damri tadi sore. Bukankah wajahnya sangat mirip. Tiba-tiba saja ia sudah berada tepat di depanku, kepalanya dipakaikan topi, jaketnya agak sedikit ia angkat ke bahu. Aku menoleh ke arah Barry, ia tidak ada disana. Mataku lalu tertuju ke pintu utama toko ini, beberapa pria dengan pakaian seperti preman seperti sedang mencari seseorang.
“Mbak bisa bantu saya?” bisik pria itu dengan wajah ketakukan.
Bola mataku menangkap kembali beberapa pria yang tadi ada di depan pintu sekarang menuju ke arah kami.
“Saya ngerti maksud kamu. Saya ini pintar membaca situasi. Maaf, saya di sini sedang mencari buku. Bukan ingin menolong orang. Akan lain ceritanya jika kamu tadi mengembalikan buku itu. Ahh dasar, membantu orang saja tidak mau. Kenapa orang harus membantumu.”
“Hey, dia di sini!” Aku berteriak, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Pria itu belingsatan, ia bergegas akan berlari. Menubruk badanku. Sial, sebuah gantungan yang ada di tasnya mengait di cardiganku. Orang-orang itu bergegas, dia panik mencoba melepaskan kaitannya. Orang-orang itu semakin dekat. Ia menggenggang tanganku erat, menarikku ikut berlari. Seperti pencuri yang ketahuan, dia mengajakku berlari sekencang-kencangnya.
“Tunjukkan aku pintu sampingnya dimana!” Ucapnya sambil terengah-engah.
“Lepaskan tangan saya!”
“Tidak sekarang. Ayo cepat lari!”
Toko buku ini cukup besar, kami berlari mencari pintu samping, melewati lorong-lorong buku. Beruntung, sedikit pengunjung pada malam hari. Sedang para karyawan toko sedikit panik dan bingung melihat  aksi kejar-kejaran di tempat mereka bekerja.
Dia menabrak pintu, terus berlari sambil menggenggam tanganku. Orang-orang itu masih mengejar. Barry. Aku teringat Barry, ia pasti akan mencariku sedang pria ini akan membawaku kemana.

Komentar

Popular Posts